Wednesday, April 4, 2012

Perjuangan Hidup di Satu Sore


       Pulang dari tempat kerja, sekitar jam 16.00 wib, seperti biasa, saya melewati perempatan ring road selatan kota Yogyakarta tercinta, tepatnya di perempatan jl Parangtritis Ring road selatan. Sebenarnya bukan sekali ini saja saya melihat pemandangan ini, tiap hari malah, karena memang rute tercepat saya dari rumah di daerah Bantul ke tempat kerja di Kota Yogyakarta adalah melewati jalur ini. Namun entah mengapa, hari ini saya merasa sangat trenyuh. Di salah satu sisi perempatan itu, seorang wanita dengan wajah, rambut dan pakaian yang menurut saya tidak bisa di bilang bersih, duduk bersimpuh, di depannya digelar alat musik tradisional jawa, berupa tiga buah kenong ( salah satu bagian dari gamelan Jawa ) yang di letakkan beralas bambu/ besi ( agak kurang jelas saya memperhatikan ). Sementara kedua tangannya cekatan memegang pemukul terbuat dari kayu dan di ujungnya di lilit semacam karet agar bisa menggema ketika beradu dengan kenong. Di temani dua anak lelaki yang berpenampilan tidak jauh berbeda dari si ibu ( semoga saya salah kalau menganggap mereka tidak bersekolah, karena di lihat dari usia, seharusnya mereka masih mengenyam pendidikan ). Satu anak bersiap dengan ikat kepala melilit di kepalanya dan rompi di badannya, sementara satu anak lagi duduk di samping si wanita, sedang duduk tepekur dengan entah apa kesibukannya. ( mungkin juga sedang berteduh istirahat karena bukan jadwalnya “tampil” ).
        Pada saat lampu merah menyala, pertanda kendaraan dari suatu arah harus berhenti, salah satu anak lelaki, mungkin anak si ibu atau rekan kerja si ibu akan dengan sigap segera berjalan ke tengah “arena”. Arena di sini adalah area zebra cross di depan antrian terdepan kendaraan yang sedang berhenti di bawah lampu merah. Segera si anak meletakkan satu buah kaleng bekas minuman di tengah arena, kemudian segera menari layaknya penari reog profesional mengikuti irama yang di tabuh si wanita di pinggir arena. Meliuk liuk dan tanpa canggung si anak beraksi di depan puluhan “penonton” yang tak lain adalah pengendara mobil dan sepeda motor yang sedang berhenti. Gerakan tangan dan kakinya seolah menyatu dengan irama yang di keluarkan dari kenong yang di tabuh si wanita. Sebenarnya hanya ada dua rumus irama yang di mainkan oleh si wanita, yang di mainkan dengan jeda waktu tertentu, kalau di dengarkan dengan seksama akan terasa perbedaan dan perubahan rumus iramanya, namun tetap terasa indah.  
        Segera setelah lampu merah akan segera berakhir pertanda lampu hijau tanda kendaraan boleh berjalan kembali, si anak penari akan dengan sigap mengambil kaleng yang dia letakkan tadi, kemudian segera berkeliling di antara mobil dan sepeda motor yang sedang berhenti, sambil menengadahkan kaleng yang dia bawa, meminta sekedar “uang lelah” dan sekaligus adalah penyumbang rezekinya hari itu. Satu persatu uang berpindah dari tangan pengendara yang sedang berhenti ke kaleng si anak penari, terkadang terlihat sedikit senyum mengembang di bibirnya.  
        Sepintas mungkin tidak ada yang ada istimewa dari sekelumit kejadian yang tersaji tadi, namun patut di pertanyakan, terlepas apakah mereka memperhatikan panggung politik yang sedang terjadi di luar sana, di mana nyawa, kekuasaan dan uang seolah sudah tidak ada hubungannya dengan kasih sayang dan masa depan yang indah ketika semua sudah harus di perebutkan. Nyawa sudah sebegitu tidak berharganya, dan kekuasaan dan uang adalah raja di raja yang seakan mampu mengalahkan segalanya. Pun tidak terpikirkan oleh wakil rakyat di atas sana perjuangan mereka setiap hari untuk sekedar dapat menyambung hidupnya, apalagi ketika harus membela payung organisasi yang telah membawa mereka pada tampuk kekuasaan, semua seakan terlupa. Sementara di atas sana uang triliunan rupiah seakan tidak berharga, berbanding terbalik dengan yang sedang ketiga orang ini perjuangkan, di mana uang seribu rupiah adalah harta yang tak ternilai harganya untuk menyambung hidup mereka yang belum pasti hari ini maupun keesokan harinya. Entah apakah isi UUD 1945 pasal 34 yang selalu saya hafalkan ketika saya masih bersekolah dulu masih relevan dengan kondisi sekarang, di mana Fakir miskin dan anak anak telantar di pelihara oleh negara. Semoga semua fikiran negatif saya salah adanya, semoga yang sedang mengurus negara sedang benar benar memikirkan solusi jitu demi kemajuan dan kebaikan negara Indonesia tercinta ini di masa depan. Semoga.